Apa arti dari “Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” ?

posted in: Penelitian Kitab Suci | 0

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” adalah sangat umum untuk setiap Muslim, ini adalah jauh di dalam sumsum mereka, jauh di dalam kesadaran mereka dan mengalir dalam darah mereka. “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” digunakan pada pembukaan setiap khotbah yang diberikan oleh pengkhotbah di mesjid, ayat ini diulang oleh umat Islam dalam doa-doa sehari-hari mereka, ini merupakan dorongan spiritual bagi mereka yang memberitakan jalan Allah SWT, juga membedakan Muslim dari orang-orang kafir. Mentalitas, pemikiran, emosi, sikap dan kualitas seorang Muslim diatur dan dibentuk oleh pemahaman seseorang tentang “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Ayat “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” telah umum dan banyak digunakan. Pertanyaannya adalah:  apakah kita benar-benar memahami maknanya?

Alih-alih menyembunyikan arti “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, menjadikannya begitu misterius bahwa sebagian besar Muslim tidak dapat memahami dan dengan demikian, tidak dapat dimasukkan ke dalam praktek bermakna; tidakkah Anda pikir arti ayat ini harus diungkapkan?

1. “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, memberitahu karakter Allah SWT itu yang adalah ‘Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’.

Ketika kita berbicara dan bertindak “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, kita harus menjadi seperti Allah SWT. Kita harus memperlihatkan karakter Allah SWT (pemurah dan penyayang) dalam perbicaraan dan perbuatan kita sehingga orang akan dapat melihat dan mengalaminya. “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” diulang di awal setiap surah Al-Quran sebagai pengingat bagi kita. Namun, saya merasa sangat sedih melihat ayat ini telah begitu umum dan kaku diulangi. Sulit bagi saya untuk membayangkan ketika seseorang menyatakan menjadi seorang Muslim, ketika “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” begitu mendalam dan umum dalam hidupnya terlepas dari apakah ia makan, tidur, berbicara dengan orang atau berkhotbah untuk Allah SWT, namun tidak memiliki kontrol diri dan dengan mudah melempar marah. Mengapa seseorang tidak kenal belas kasihan dan menjadi keras pada orang kafir? Bagaimana seseorang bisa mengabaikan orang miskin, sakit dan lemah di sekitarnya? Bagaimana seseorang bisa mengabaikan mereka yang menderita secara rohani? Kita akan dinilai untuk ini. Kualitas hidup kita tidak cocok dengan apa yang kita katakan – “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, dan disebabkan pembicaraan dan tindakan kita, kita menyampaikan konsep yang salah tentang Allah SWT, kita telah memperkejikan nama Allah SWT dan karakter-Nya.

Allah SWT adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang! Kasih sayang dan rahmat Allah SWT menjadi begitu ringan apabila kita lebih menekankan pada kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya. Apakah Anda tahu akan konsekuensinya?  Apa itu kasih sayang dan rahmat Allah SWT? Bagaimana kasih sayang dan rahmat Allah SWT terlihat? Apa koneksi antara mengetahui dan mengalami kasih sayang serta rahmat Allah SWT dan membentuk karakter dan kualitas spiritual seorang Muslim? Apa pentingnya ini untuk seorang Muslim dan untuk seluruh dunia? Ini merupakan pelajaran yang sangat mendesak bagi kita untuk memahami.

2. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, dalam cara tertentu menunjukkan  bahwa seorang Muslim adalah utusan, wakil Allah SWT, adalah khalifah di bumi.

Ketika Anda berbagi pendapat Anda, mengekspresikan pendirian dan membuat keputusan “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, Anda berbicara dan bertindak dalam nama Allah SWT, yang penuh kasih saying dan rahmat. Itulah sebabnya dalam Al-Quran dikatakan bahwa Muslim adalah khalifah di bumi. “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” bukanlah sebuah slogan tetapi kualitas hidup. Khalifah di bumi “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” bukan nominal tetapi esensi dari kehidupan religius. Dalam <Al-Quran> An-Nur, ayat 55 mengatakan “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh……”. Bagaimana Allah SWT memerintah seluruh bumi? Apa yang membuat kita menjadi khalifah Allah SWT di bumi? Bagaimana identitas mulia seperti ini datang ke kita? Beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, mendambakan untuk menjadi seperti Allah SWT, penuh kasih sayang dan rahmat, benar dan setia. Kita harus belajar dari nenek moyang kita, khalifah sebelumnya di bumi cara mereka memerintah bumi sebagai apa yang Allah SWT telah mengajari mereka. Apakah mereka memerintah bumi dengan kekuatan politik? Ekonomi? Pistol, bom, misil, kekuatan militer, dll? Apakah mereka memerintah bumi dengan kemampuan mereka untuk melawan dan bicara? Jawabannya adalah TIDAK. Mereka memerintah bumi dengan kekuatan kebaikan, kasih saying, belas kasihan dan kelembutan dari Allah SWT. Nabi Isa berkata, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Injil Matius 5: 5).

Kami akan menemukan sebuah fakta dengan melihat kembali sejarah – hampir semua pertempuran atau perang terjadi dalam nama Tuhan (atau Allah SWT). Kerajaan atau kekuasaan yang dibangun dengan menggunakan nama Tuhan,  Yang Maha Tinggi (atau Allah SWT) dengan cara-cara politik, militer, ekonomi dan diplomatik akan  terguling dan digantikan oleh kerajaan atau kekuasaan lain yang dibangun dengan kekuatan daging. Tidak ada kasus yang luar biasa untuk ini. Hal ini telah meninggalkan penderitaan yang intens, bencana, kecemburuan dan kebencian yang berlansgung sampai sekarang dan sulit untuk menghilangkan. Jadi, berhati-hati dalam menggunakan nama Allah SWT. Dalam kitab <Taurat> Keluaran 20: 7, dikatakan dalam Sepuluh Perintah Allah, “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan”.

<Al-Quran> Yunus, ayat 13-14, “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat yang sebelum kamu, ketika mereka berbuat kelaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.   ”

Bagaimana kita, umat Islam menjadi khalifah di bumi? Apakah kita lebih baik dari ras lain yang telah menerima wahyu sebelumnya? TIDAK! TIDAK! Ini karena khalifah sebelumnya di bumi yang telah menerima wahyu Allah SWT telah mengadopsi sikap yang tidak adil dan bahkan tidak akan percaya rasul-rasul yang dikirimkan kepada mereka dengan tanda-tanda yang jelas. Oleh karena itu, mereka dibinasakan dan kemudian tugas sebagai khalifah di bumi jatuh di bahu kita. Sekarang, Allah SWT juga menguji kita: “Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” Jadi mengapa kita begitu sombong? Sementara kita bepergian di bumi ini dalam nama Allah SWT, apakah kita berperilaku seperti khalifah di bumi; menjalani kehidupan yang penuh kasih sayang, belas kasihan, kebenaran dan ketulusan hati? Apakah kita percaya dan melakukan perbuatan baik? Apakah kita setia pada wahyu? Sesungguhnya Allah SWT mendengar semua dan mengetahui semua.

3. Mereka yang “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” menunjukkan bahwa mereka  mengetahui Allah SWT, berada dalam kontak dengan Allah SWT dan membangun kedekatan hubungan dengan-Nya.

Orang-orang percaya pada Nabi Muhammad SAW ketika dia menyampaikan pesan dan bertindak dalam nama Allah SWT. Ini karena kontak langsungnya dengan Allah SWT yang bisa dilihat. Pernyataannya bukan desas-desus, bukan hasil pikiran spekulatif. Pengetahuannya tentang Allah SWT bukanlah sebuah konsep abstrak, tetapi pengalaman hidup. Dia tidak membutuhkan seseorang untuk membuktikan kepadanya keberadaan dan kebesaran Allah SWT. Hanya mereka yang tidak memiliki kontak dengan Allah SWT perlu mencari terus menerus untuk bukti-bukti bahwa Allah SWT adalah besar dan bahwa Dia ada. Nabi Muhammad SAW mengetahui Allah SWT yang dia percaya. Dia menjalani kehidupan yang memiliki hubungan yang hidup dengan Allah SWT dan mengalami-Nya, dia tahu  Allah SWT seperti yang dialami oleh Nabi Musa seperti yang dikisahkan dalam <Alkitab>  Mazmur   90: 7-12:

Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu, dan karena kehangatan amarah-Mu kami terkejut.  Engkau menaruh kesalahan kami di hadapan-Mu, dan dosa kami yang tersembunyi dalam cahaya wajah-Mu. Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh. Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap. Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada gemas-Mu?  Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.

Dia juga setuju dengan Nabi Daud yang mengenal Allah SWT, seperti tertulis dalam <Alkitab> Mazmur  103: 8-14:

TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.  Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam.  Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita,  tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia;  sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita.  Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.  Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu.

Para nabi adalah rendah hati, lembut, mengerti dan jujur karena mereka selalu berhubung dengan Allah SWT, dan mengetahui bahwa Allah SWT akan mengizinkan mereka yang tidak bersedia untuk berkomunikasi dengan-Nya untuk bergumul dalam kekejaman mereka. Para nabi tahu persis bahwa hubungan seseorang dengan Allah SWT akan terungkap dalam karakter hidupnya. Seorang nabi mengenal Allah yang ia percaya, ia memiliki hubungan erat dengan Allah SWT, ia mengerti kehendak Allah SWT dan selalu berhubung dengan-Nya, sehingga ia bisa berbicara dan bertindak dalam nama-Nya.

Anda mungkin mengatakan bahwa kita hanya makhluk normal dan tidak satupun dari kita dapat menjadi seperti para nabi. Lalu, bagaimana kita bisa berbicara dan bertindak dalam nama Allah SWT Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang? Jika kita tidak mengenal Allah SWT melalui pengalaman kita, tidak memiliki kontak langsung dengan-Nya dan tidak membangun hubungan dekat dengan-Nya; bagaimana kita berbicara dan bertindak dalam nama Allah SWT Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang? “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, kita sebagai orang percaya Allah SWT harus datang ke dalam kontak dengan-Nya, mengenal Dia dan membangun hubungan yang hidup dengan-Nya.

4. “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, adalah  menggunakan otoritas yang terkandung dalam nama Allah SWT.

Bagaimana kita memanfaatkan kewenangan yang diberikan kepada kita oleh Allah SWT? “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, apa yang dilakukan oleh khalifah di bumi? Dalam nama Allah SWT yang Kudus, apakah kita telah melakukan perbuatan baik dan kebaikan? Apakah kita mengerti kehendak-Nya? Apakah kita menjalani hidup kita sesuai dengan kehendak-Nya? Apakah kita menggunakan otoritas Allah SWT dalam memuaskan nafsu egois kita sendiri, atau kita menggunakannya untuk membangun orang, untuk membawa berkat dan kedamaian kepada masyarakat dan kepada dunia? Kita dulu membenci dan memandang rendah orang-orang yang menyalahgunakan wewenang mereka; apakah kita juga menyalahgunakan wewenang suci Allah SWT? Bagaimana Allah SWT akan menghakimi kita? Mari kita memeriksa diri kita sendiri sebelum penghakiman Allah SWT itu.

_____________________________________________________________________________________

Catatan:

  1. Semua ayat Al-Quran adalah bersumber dari www.theholyquran.org, dengan ucapan terima kasih.
  2. Semua ayat Alkitab (Taurat, Injil dan Mazmur) adalah bersumber dari Terjemahan Baru (Indonesia)(ITB), dengan ucapan terima kasih.
719 Total Views 1 Views Today